Assalamualaikum, Phicartas!
Suasana menjelang pemilu legislatif nampak dan terasa makin ramai. Sebagai bagian dari sebuah bangsa, kita tidak bisa melepaskan diri dari keterlibatan, minimal keterpengaruhan dengan hiruk pikuk kegiatan politik. Apalagi jika kita menyadari bahwa masalah siyasah dan ketatanegaraan adalah bagian integral (tak terpisahkan) dari syari'at Islam. Sebagian masyarakat muslim memahami syari'at Islam itu sebatas Rukun Islam, ada juga yang memahaminya sebatas hukum hudud, seperti potong tangan bagi pencuri, cambuk bagi pemabuk, dan rajam bagi penzina. Padahal cakupan Syari'at Islam itu bagitu luas. Menyangkut masalah-masalah : akidah, ibadah, mu'amalah, munakahah, akhlak, ekonomi, budaya, keamanan dan pertahanan, pendidikan, sosial kemasyarakatan serta politik dan ketatanegaraan.
Dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari sahabat Abu Umamah Al-Bahili, Rasulullah saw
bersabda : “Ajaran Islam itu akan lenyap dari tangan kaum muslimin satu
persatu, setiap kali satu ajaran hilang, maka akan diikuti dengan lenyapnya
bagian dari ajaran Islam yang lainnya. Ajaran yang akan pertama lenyap adalah
masalah pemerintahan, dan yang terakhir lenyap adalah ajaran tentang shalat.”
Pernyataan Nabi saw ini tentu bukan sebuah ramalan, melainkan sebuah
tadzkirah atau peringatan yang harus menjadi perhatian kaum muslimin semua.
Ajaran tentang shalat menjadi bagian yang terakhir lenyap, karena penanaman
keyakinan dan kesadaran akan posisi shalat dalam kehidupan seorang muslim sudah
begitu mantap. Doktrin-doktrin seperti : Shalat itu salah satu rukun Islam,
Shalat itu tiangnya agama, shalat yang lima waktu itu wajib, Orang yang
meninggalkan shalat sama sekali dinyatakan kafir, Nabi saw tidak mau
menyalatkan orang yang mati ketika hidupnya tidak pernah shalat, amal yang akan
pertama kali dihisab adalah shalat, dsb. Doktri-doktrin tersebut terhujam kuat
dalam sanubari, terpateri kokoh dalam fikiran. Wajar menjadi bagian dari ajaran
Islam yang terakhir lenyap. Sementara masalah pemerintahan menjadi bagian
ajaran yang lenyap, mungkin karena selama ini perhatian kita tentang masalah
yang satu ini relatif kurang, kalaupun terlibat hanya sebatas partisipan.
Bahkan sering dipandang soal pemerintahan itu adalah urusan "orang lain
", maka tidak heran jika pemerintahan itu sering jatuh ke tangan "
orang lain " ( yakni mereka yang tidak memiliki keberpihakan bahkan kadang
memusuhi Islam dan muslimin ). Ketika kebijakan yang mereka buat merugikan
Islam dan muslimin, baru menyesalinya.
Banyak Negara yang dulu di bawah
khilafah Islam, dan telah meluas pemahaman dan pengamalan ajaran Islam di
tengah masyarakatnya, begitu kekuasaan Negara jatuh ke tangan non-muslim, maka
nilai-nilai atau ajaran Islampun dilenyapkan. Kalaupun ada mesjid, hanya
sekedar jadi monument sejarah. Di Republik inipun ketika para penguasa negri
bukan orang yang memiliki keberpihakan kepada Islam, kegiatan dakwahpun
dibatasi dan diawasi, pakai kerudung ke sekolah dan kekantorpun dilarang,
banyak da'I dan ulama yang ditangkap dan dijebloskan ke sel tahanan tanpa
proses pengadilan yang fair dan terbuka, berbagai rekayasa yang menyudutkan
Islam dan muslimin dibikin. Dan kekuatan seperti ini sampai saat ini masih
eksis dan kuat. Coba kita ingat lagi, bagaimana alotnya pembahasan UU
Sisdiknas, UU Peradilan Agama, UU Pornografi, dsb. Akibat kuatnya penolakan
dari kaum sekuler atau dari mereka yang tidak memiliki keberpihakan bahkan
memusuhi Islam.
Dalam hadits riwayat Imam
Al-Hakim Nabi saw menyatakan bahwa pemimpin kamu itu cerminan kamu.
Maksudnya jika rakyatnya atau pemilihnya orang-orang yang baik, dan saleh, maka
akan dipimpin oleh orang yang baik pula atau akan memilih calon pemimpin yang
baik pula; tapi jika mereka itu masyarakat pendurhaka dan pembuat kerusakan,
maka yang akan mereka pilih adalah calon pemimpin setipe itu.
Kelak di hari kiamat yang akan dipinta pertanggung jawaban oleh Allah swt bukanlah mereka yang dipilih sebagai pemimpin, tapi para pemilihnya juga sama, akan dipinta tanggung jawab. Nabi saw. Mengingatkan : Barangsiapa yang mengangkat seseorang menjadi pemimpin atas dasar ta'ashub ( fanatisme buta), padahal di tengah mereka masih ada orang-orang yang diridlai oleh Allah, maka ia telah berkhianat kepada Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman ( HR. Al-Hakim). Memilih pemimpin hanya karena ikatan emosional, tanpa memperhatikan kelayakan dan kriteria yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya, apalagi hanya karena iming-iming materi, akan menjadi berat pertanggungjawabannya kelak.
Kelak di hari kiamat yang akan dipinta pertanggung jawaban oleh Allah swt bukanlah mereka yang dipilih sebagai pemimpin, tapi para pemilihnya juga sama, akan dipinta tanggung jawab. Nabi saw. Mengingatkan : Barangsiapa yang mengangkat seseorang menjadi pemimpin atas dasar ta'ashub ( fanatisme buta), padahal di tengah mereka masih ada orang-orang yang diridlai oleh Allah, maka ia telah berkhianat kepada Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman ( HR. Al-Hakim). Memilih pemimpin hanya karena ikatan emosional, tanpa memperhatikan kelayakan dan kriteria yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya, apalagi hanya karena iming-iming materi, akan menjadi berat pertanggungjawabannya kelak.
Majelis Ulama telah memberikan
panduan terkait Pemilu, melalui fatwanya , sebagai hasil Ijtima Ulama di Padang
Panjang 24-26 Januari lalu, di point 4 disebutkan : Memilih pemimpin yang
beriman, bertaqwa, jujur (shiddiq), terpercaya (amanah), aktif-aspiratif
(tabligh), memiliki kemampuan (fathonah), dan memperjuangkan kepentingan umat
Islam, hukumnya adalah wajib. Kalaupun sulit mencari calon yang memenuhi
syarat-syarat tersebut, tentu dicari minimal yang paling mendekati persyaratan
tersebut. Di point 5 nya di sebutkan : Memilih pemimpin yang tidak memenuhi
syarat ( tersebut di no.4) atau tidak memilih sama sekali, padahal ada calon
yang memenuhi syarat, hukumnya adalah haram.
Bagi mereka yang diamanahi
menjadi pemimpin, harus disadari bahwa jabatan itu bukan sebatas anugrah,
melainkan juga sebuah amanah yang harus dipertanggungjawabkan bukan hanya di
hadapan rakyat, tapi terutama di hadapan Allah swt kelak. Nabi saw mengingatkan
: “Jabatan itu adalah amanah, jabatan itu bisa jadi kehinaan dan
penyesalan pada hari kiamat, kecuali mereka yang mendapatkan jabatan itu dengan
haknya, dan menunaikan tugas dan kewajiban yang ada pada jabatan itu. “ (HR.
Muslim). Pertanggungjawaban seorang pemimpin di hadapan Allah swt kelak
akan menjadi ringan, jika ia mendapatkan jabatan itu karena ia adalah orang
yang layak mendapatkannya, ia mendapatkan jabatan itu dengan cara-cara yang
baik dan benar, bukan dengan cara-cara, culas, licik dan kotor. Dalam hadits
lain riwayat Imam Muslim, Nabi saw juga mengingatkan bahwa bagi pemimpin yang
sewaktu memimpin berkhianat dan menipu rakyatnya, jika tidak segera bertaubat,
maka Allah swt akan mengharamkan surga baginya. Wallahua'lam.
Oleh: Ust. Shidiq Amien Follow us on Twitter : @phicarta
Website: phicarta.com
No comments:
Post a Comment